KONSEKUENSI
ADOPSI PENUH IFRS TERHADAP PELAPORAN KEUANGAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, telah
memporak-porandakan struktur perekonomian negara-negara tersebut. Bahkan bagi
Indonesia, akibat dari terjadinya krisis moneter yang kemudian berlanjut pada
krisis ekonomi dan politik, telah menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan
terhadap perekonomian nasional. Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali
dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing (terutama dolar Amerika), salah satunya telah mengakibatkan terjadinya
lonjakan harga barang-barang impor dan menyebabkan harga hamper semua barang
yang dijual didalam negeri mentingkat, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung, terutama pada barang yang memiliki komposisi barang impor yang
tinggi.
Secara teoritis, analisis laporan keuangan terdiri dua
kata, yaitu analisis dan laporan keuangan. Ini berarti analisis laporan
keuangan merupakan suatu proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu
mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang
dan masa lalu, dengan tujuan utama menentukan estimasi dan prediksi yang paling
mungkin mengenai kondisi dan kinerja (performance) perusahaan pada masa
mendatang. Analisis laporan keuangan dikatakan mempunyai kegunaan apabila dapat
dipakai untuk memprediksi fenomena ekonomi. (Dian Meriewaty 2012). Para
pengguna dan pemanfaat laporan keuangan adalah pemegang saham, investor,
manajer, karyawan, pemasok dan kreditur, pelanggan, pemerintah dan pengguna
lainnya. Antara pengguna laporan keuangan yang satu dengan yang lainnya
mempunyai kepentingan yang berbeda. Pemegeng saham akan menilai kinerja
manajemen sebagai pihak yang diberi tanggung jawab untuk menjalankan dana
pemegang saham. Investor memerlukan informasi keuangan untuk membantu
menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasinya. Karyawan
berkepentingan terhadap laporan keuangan agar perusahaan selalu berkembang dan
menghasilkan laba.(Harianto dan Sudono 1998).
Standar akuntansi Internasional tidak mudah diterima,
menimbulkan banyak konflik, karena di beberapa negara standar akuntansi
dibentuk secara politis, sedangkan dinegara lain melalui mekanisme professional
pihak swasta (Choi dan Richard 1998). Pro dan kontra terhadap Standar
Akuntansi Internasional, tidak
menghentikan langkah Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) untuk
mengenalkan dan mendorong pengadopsian International Financial Reporting
Standard (IFRS) di berbagai negara didunia. IASB tidak memaksa semua negara di
dunia untuk mengadopsi penuh IFRS, karena pada tingkat paling akhir dari
tingkat pengadopsian IFRS adalah sama sekali tidak mengadopsi IFRS. Indonesia
telah menetapkan untuk mengadopsi penuh IFRS pada awal tahun 2012. Indonesia
sebagai negara G20 berarti harus pula mengikuti segala konsekuensi yang harus
dihadapi dalam adopsi penuh atas IFRS tersebut. Tulisan ini mendeskripsikan
konsekuensi yang harus dihadapi Indonesia dalam adopsi IFRS terhadap pelaporan
keuangan, yaitu perubahan dari pengukuran dan pengungkapan menggunakan biaya
historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value), kesiapan Indonesia
terhadap penggunaan nilai wajar akibat adopsi IFRS dan manfaat penggunaan nilai
wajar.
Biaya
Historis (Historical Cost) dan Nilai wajar (Fair Value)
Beberapa kesepakatan telah diputuskan pada pertemuan yang
diadakan oleh forum G20 di London, 2 April 2009. Pertemuan tersebut
menghasilkan 29 kesepakatan, kesepakatan tersebut mengharuskan negara anggota
untuk meningkatkan penggunaan niali wajar (wirahardja,2010). Indonesia sebagai
anggota forum G20 harus mengikuti
kesepakatan tersebut, sehingga pembuatan Standar International Accounting
Standar (IAS). Konvergensi diawali pada tahun 1994 dengan ditunjukkannya
beberapa kali revisi terhadap Standar Akuntansi Keuangan yang mengacu pada IAS,
yang diikuti beberapa tahap adopsi IFRS tahun 2008 dan tahap implementasi IFRS
tahun 2012. Adopsi penuh IFRS berarti ada perubahan pengukuran dan pengakuan
terhadap pelaporan keuangan. Dahulu pengukuran dan pengakuan terhadap pelaporan
keuangan lebih banyak menggunakan biaya historis, ketika adopsi penuh IFRS maka
lebih banyak menggunakan nilai wajar.
Biaya historis adalah rupiah kesepakatan atau harga
pertukaran yang telah tercatat dalam sistem pembukuan (Suwarjono,2008). Konsep
biaya historis menggunakan pendekatan biaya perolehan yang menghasilkan nilai
buku. Untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku digunakan sebagai acuan
untuk menilai perusahaan. Sebagai contoh jika membeli tanah maka bertahun-tahun
kemudian, apabila masih menggunakan konsep biaya historis meskipun nilai pasar
harganya sudah naik tiga kali lipat, harga tanah tersebut akan tetap tertulis
sesuai dengan nilai bukunya, hal ini dianggap beberapa pihak tidak relavan lagi
(Suharto, 2009). Kinerja perusahaan diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk
mencapai tujuan perusahaan karena setiap kegiatan tersebut memerlukan sumber
daya, maka kinerja perusahaan akan tercermin dari penggunaan sumber daya untuk
mencapai tujuan perusahaan. Pentingnya laporan keuanagn sebagai informasi dalam
menilai kinerja perusahaan, mensyaratkan laporan keuangan haruslah mencerminkan
keadaan perusahaan yang sebenarnya pada kurun waktu tertentu.
Penggunaan
Nilai Wajar (Fair Value) di Indonesia
Beberapa Standar
Akuntansi di Indonesia telah disusun dengan mengecu pada IFRS oleh DSAK. Hal
ini berarti telah mengacu pada konsep fair value. Badan Pengawasan Pasar Modal
(BAPEPAM) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) juga mengacu pada
konsep fair value dalam bebrapa peraturannya. Menurut ketua DSAK-IAI Yusuf
Wibisana fair value adalah nilai suatu asset yang dapat dipertukarkan atau
suatu kewajibandiselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk
melakukan transaksi wajar dan dalam standar akuntansi keuangan sesuai dengan
Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55. Nilai wajar harus diukur dengan
menggunakan harga di pasar utama untuk asset tertentu atau kewajiban. Jika
tidak ada pasar utama, maka nilai yang dipakai adalah harga/nilai yang paling
menguntungkan pasar itu. hal ini juga berlaku sebagai standarisasi atas
hierarki penilaian untuk kategori level 1,2, dan 3 yang mengklasifikasikan
tingkat penilaian yang digunakan dalam
pengukuran asset tertentu atau kewajiban, sebesar nilai wajarnya.
Tiga hierarkikonsep fair value yaitu: level 1- harga
dikutip dipasar aktif untuk aktiva dan kewajiban yang identik. Tingkat 1 input
harus digunakan tanpa penyesuain, jika tersedia. Level 2- Input tidak termasuk
dalam level 1yang diamati untuk aktiva atau kewajiban, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Level 3-Input tidak teramati, termasuk data entitas itu
sendiri, yang disesuaikan jika diperlukan untuk mencerminkan asumsi pasar(http://jurnalakuntansikeuangan.com,2011).
Penggunaan fair value tidak meliputi asset dan instrument keuangan lainnya,
serta kewajiban suatu perusahaan atau entitas bisnis. Pihak pengguna konsep
fair value adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di jsa keuangan dan
sector rill (Suharto, 2009).
IFRS 13: Standar Yang Dinamis
IFRS 13 termasuk salah satu standar IFRS yang pergerakannya
cukup dinamis. Standar ini disahkan oleh IASB pada bulan May 2011 untuk berlaku
1 Januari 2013. Di banyak negara, standar ini sudah digunakan sejak awal tahun
2013 seperti di Philippines dan Australia. Baru setahun berlaku, saat ini IASB
sedang mempertimbangkan melakukan amandemen untuk unit of account
instrument keuangan yang merupakan investasi di perusahaan anak, joint
venture dan perusahaan asosiasi. Exposure draft dari amandemen ini
diharapkan keluar pada triwulan pertama 2014. Salah satu riset yang sedang
dilakukan oleh IASB sejak tahun 2013 tentang discount rates juga berpotensi
akan berdampak pada IFRS 13 selain juga berdampak ke standar IFRS lainnya. IASB
juga sudah memberikan signal bahwa mereka akan melakukan post-implementation
review (PIR) atas IFRS 13 ini yang akan mulai pada tahun 2015 nanti. Kegiatan
PIR memang bisa dilakukan setelah minimum dua tahun masa efektif suatu standar.
Saat ini misalnya IASB sedang melakukan PIR untuk IFRS 3 Business Combination
yang efektif sejak 2008. Mengingat IFRS 13 masih sangat baru, PIR yang
dilakukan hanya berselang dua tahun dapat memberikan signal bahwa penerapan standar
ini banyak mengalami tantangan di lapangan sehingga perlu disempurnakan. (Ersa
Tri Wahyuni,2015).
Definisi Nilai Wajar PSAK 68 PSAK 68 adalah mesin
hitung bagaimana mengukur suatu aset dan liabilitas bila PSAK lain mensyaratkan
atau mengijinkan penggunaan nilai wajar. Misalnya PSAK 13 Properti Investasi
mengijinkan penggunaan nilai wajar atau PSAK 16 mengijinkan model revaluasi,
maka bagaimana cara mengukur nilai wajar, pengguna membuka PSAK 68 ini. PSAK 68
memuat: 1. Definisi nilai wajar 2. Kerangka pengukuran nilai wajar 3.
Pengungkapan mengenai pengukuran nilai wajar Definisi nilai wajar di
standar-standar IFRS terkadang memiliki perbedaan, namun dengan terbitnya PSAK
68 ini maka definisi nilai wajar menjadi lebih tajam. Berikut adalah esensi
dari IFRS 13 dengan persyaratan baru:
·
Nilai wajar diukur dengan menggunakan
harga di pasar utama bagi aktiva atau kewajiban (yaitu pasar dengan volume
terbesar dan tingkat aktifitas untuk aktiva atau kewajiban) atau, dalam hal
tidak adanya pasar utama maka yang dipakai adalah pasar yang paling
menguntungkan bagi aktiva atau kewajiban tersebut.
·
Rincian pedoman untuk mengukur nilai
wajar suatu kewajiban, termasuk deskripsi kompensasi yang oleh dibutuhkan oleh
pelaku pasar.
Aset dan kewajiban keuangan yang melawankan posisi dalam risiko pasar (atau risiko kredit pihak lawan), dapat diukur berdasarkan eksposur risiko bersih entitas.
Aset dan kewajiban keuangan yang melawankan posisi dalam risiko pasar (atau risiko kredit pihak lawan), dapat diukur berdasarkan eksposur risiko bersih entitas.
·
Kelas-kelas aktiva atau kewajiban, untuk
tujuan pengungkapan ditentukan berdasarkan karakteristik alam, dan risiko dari
aset atau kewajiban dan tingkat dari hirarki nilai wajar (yaitu Level 1, 2 atau
3) di mana pengukuran nilai wajar dikategorikan .
·
Sebuah diskusi narasi diperlukan tentang
sensitivitas pengukuran nilai wajar dikategorikan dalam Tingkat 3 dari hirarki
nilai wajar untuk perubahan masukan tidak teramati signifikan dan ada
keterkaitan antara input yang mungkin memperbesar atau mengurangi efek pada
pengukuran. Selain itu, analisis sensitivitas kuantitatif diperlukan untuk
instrumen keuangan yang diukur pada nilai wajar.
·
Informasi tentang proses penilaian
entitas diperlukan untuk pengukuran nilai wajar dikategorikan dalam Tingkat 3
dari hirarki nilai wajar.
Definisi Nilai Wajar sesuai dengan PSAK 16 Aset Tetap
Jumlah suatu aset dipertukarkan antara pihak-pihak yang berkeinginan
dan memiliki pengetahuan memadai dalam suatu transaksi yang wajar
Definisi Nilai Wajar Sesuai dengan PSAK 68
Harga yang akan diterima
untuk menjual suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran Dalam
definisi nilai wajar yang baru, secara tegas disebutkan bahwa yang digunakan
adalah harga keluaran (exit price) dan bukan harga transaksi atau harga masukan
(entry price) walaupun kebanyakan harga transaksi juga merupakan harga
keluaran. Harga transaksi dianggap sebagai harga keluaran kecuali:
- Transaksi terjadi di pasar yang berbeda
- Transaksi untuk unit akun yang berbeda
- Penjual dalam kondisi keterpaksaan
- Transaksi antara pihak yang berelasi
Transaksi di Pasar Apa, Oleh Siapa dan yang Bagaimana?
PSAK 68
mementingkan harga yang terjadi antara pelaku pasar, yang perlu diperhatikan
adalah pasar yang seperti apa? Pelaku pasar yang seperti apa? Dan bagaimana
memilih harga yang terjadi di pasar karena bisa saja ada berbagai macam harga
transaksi yang terjadi.Pasar dijelaskan dalam PSAK 68 sebagai pasar utama dan
pasar yang paling menguntungkan. Dalam kenyataannya menentukan pasar ini tidak
mudah. Produk pertanian misalnya, pasar utama mangga arum manis bisa jadi di
Probolinggo sebagai sentra pusat pertanian mangga, namun pasar mangga yang
paling menguntungkan bisa saja di Jakarta karena marginnya lebih tinggi.
Pengguna harus mempertimbangkan biaya-biaya transportasi juga untuk menggunakan
pasar yang paling menguntungkan. Pelaku pasar yang dimaksud adalah market
participants dan bukan transaksi antara dua belah pihak. Harga yang
terjadi antara dua belah pihak bisa saja lebih murah (mungkin karena pihak
berelasi), namun harga yang terjadi antara pelaku pasarlah yang dianggap
sebagai nilai wajar walaupun harganya berbeda dengan harga transaksi.
PSAK 68 juga
menekankan bila banyak harga di pasar maka yang dipakai adalah harga yang
mencerminkan penggunaan tertinggi dan terbaik. Ketua DSAK dalam kegiatan PPL
acara HUT IAI di Surabaya desember lalu memberikan contoh mengenai pengukuran
nilai tanah dan gedung. Bila kita berniat membeli tanah untuk tujuan membangun
gudang, namun di lokasi dimana tanah tersebut biasanya untuk membangun
apartemen, maka harga yang dipakai adalah harga bila tanah tersebut dipakai
untuk membangun apartemen karena harganya akan lebih mahal.
Bagaimana bila harga pasar tidak tersedia?
Tidak semua
aset memiliki harga pasar yang aktif. Bagaimana bila aset tersebut tidak
memiliki pasar aktif namun tetap harus diukur sesuai dengan nilai wajar? Apa
yang harus dilakukan?Harga pasar aktif (quoted market price) adalah nilai wajar
terbaik menurut PSAK 68, yakni memenuhi hirarki tertinggi (level 1). Namun bila
pasar aktif tidak tersedia, maka hirarki nilai wajar PSAK 68 mengijinkan turun
ke pengukuran level 2 atau bahkan ke level 3 (yang terendah). Level 2
menggunakan harga input berupa harga transaksi aset serupa yang mirip, atau
harga kuotasian aset identik di pasar yang tidak aktif, atau harga input
lainnya yang masih bisa diobservasi. Sedangkan pengukuran nilai wajar level 3
menggunakan harga input yang tidak lagi bisa diobservasi. Level 3 ini yang
biasanya menggunakan teknik-teknik penilaian seperti misalnya dengan discounted
cash flow dengan menggunakan arus kas proyeksi dari aset yang diukur selama
umur ekonomis aset. Pengukuran dengan level 3 ini tentunya lebih subjektif
daripada level 1 dan level 2 karena banyak asumsi dalam pengukurannya. Dengan
demikian maka pengungkapan yang disyaratkan juga lebih banyak bila perusahaan
menggunakan pengukuran level 3.
Bila perusahaan
menggunakan teknik penilaian nilai wajar level 3, nilai input dan asumsi-asumsi
yang digunakan harus diungkapkan secara lebih rinci. Perusahaan juga harus
menjelaskan langkah-langkah proses penilaian yang dilakukan dengan nilai input
tersebut. Analisis sensitivitas juga harus dibuat oleh perusahaan dalam
pengungkapan. Diskusi narasi tentang analisis sensitivitas tentang perubahan
nilai masukan tak terobservasi (Unobservable inputs) termasuk hubungan
antar nilai-nilai masukan tersebut yang dapat mempengaruhi pengukuran.Perusahaan
di Indonesia dalam mengukur nilai wajar aset sering memanfaatkan jasa penilai. Kesiapan profesi penilai menjadi
penting untuk mendukung penerapan PSAK ini. DSAK-IAI juga melakukan diskusi
dengan PPAJP dan MAPPI selama setahun terakhir agar Standar Penilaian Indonesia
juga direvisi mengikuti perubahan PSAK 68 khususnya SPI 201 : Standar Penilaian
Pelaporan Keuangan.
Konsep highest
and best use model bisa menjadi tantangan tersendiri karena biasanya
penilai properti misalnya mengukur properti sesuai dengan niat dan tujuannya,
untuk kasus gudang di atas maka penilai menggunakan harga-harga gudang sebagai
pembanding. IAI sudah mulai mensosialisasikan IFRS 13 ini sejak tahun 2012
seperti misalnya memberikan training dan seminar tentang nilai wajar, salah
satunya dalam kegiatan acara HUT IAI Desember 2012 dan 2013. Artikel
tentang IFRS 13 juga pernah dimuat dalam Majalah Akuntan Indonesia edisi
Januari /Februari 2013 dengan judul “Sukarnya Menakar Nilai Wajar”. Namun
mengingat banyaknya akuntan dan penilai yang tersebar di seluruh Indonesia dan
bukan hanya berpusat di kota besar maka sosialisasi dan persiapan kepada
profesi akuntan dan penilai harus segera diintensifkan selama tahun 2014.(http://etw-accountant.com)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Atmadja Adwin S., Mei 1999, Inflasi
DiIndonesia sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya, Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Vol. 1 No. 1
2.
Atmadja Adwin S., Mei 2002, Analisi
Pergerakan Nilai Tukar rupiah Terhadap Dolar Amerika Setelah Diterapkannya
Kebijakan Sistem Nilai tukar Mengambang Bebas Di Indonesia, Jurnal Akuntansi
& keuangan Vol.4 No.1
3.
Immanuela Intan, Juli 2012, Konsekuensi
Adopsi Penuh IFRS Terhadap Pelaporan Keuangan Di Indonesia, Widya Warta No.2
4.
Anggrayni Delvita Dita Putri, Pandam
Rukmi Wulandari, Oktober 2011, Analisis kinerja Perbankan Yang Mengadopsi
Standar Pelaporan Internasional (IFRS) Berdasarkan harga Saham, laba Per Saham
Dan kapitalisasi Pasar, Procceding PESAT Vol. 4
5.
Chabachib.H.M dan Agung Witjaksono,
2011, Analisis Pengaruh Fundamental makro dan Indeks Harga Global Terhadap
IHSG, Karisma Vol 5
6.
Dwijayanthy Febrina dan Prima
Naomi,2009, Analisis Pengaruh Inflasi, BI Rate, dan Nilai Tukar Mata Uang
Terhadap Profitabilitas Bank Periode 2003-2007, Karisma Vol 3
7.
Meriewaty Dian dan Astuti Yuli Setyani,
2005, Analisis Rasio Keuangan Terhadap Perubahan Kinerja Pada Perusahaan Di
Industri Food and Beverages Yang Terdaftar Di BEJ, SNA VIII
8.
http://jurnalakuntansikeuangan.com/2011/06/ifrs-fasb-akhirnya-sepakati-definisi-nilai-wajar-fair-value/
9.
http://etw-accountant.com/indonesia-terapkan-standar-nilai-wajar-1-januari-2015-siapkah-kita/