Universitas Gunadarma

Universitas Gunadarma
Ayu Kusumah

Rabu, 24 Juni 2015

PENENTUAN HARGA TRANSFER ATAS TRANSAKSI INTERNASIONAL DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA

Perkembangan ekonomi yang terjadi pada saat ini, memberikan suatu pengaruh yang besar bagi pola bisnis dan sikap para pelaku bisnis. Investasi yang semakin aktif dilakukan oleh para investor, terlebih-lebih oleh para investor asing yang telah mengakibatkan terjadinya transaksi-transaksi yang bersifat internasional (cross border transaction). Awalnya transfer pricing dikenal dalam akuntansi manajemen sebagai kebijakan harga yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar divisi/departemen di dalam suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi/departemen tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multinasional yang biasanya menerapkan desentralisasi operasi dengan cara membagi perusahaannya atas pusat-pusat pertanggungjawaban baik itu pusat biaya maupun pusat penghasilan, telah memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Melalui praktik transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda.
            Penerimaan negara yang bersumber dari sektor perpajakan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga Direkrorat Jenderal Pajak perlu melakukan suatu terobosan-terobosan yang dapat meningkatkan penerimaan pajak dan mengantisipasi transaksi-transaksi yang bersifat tax avoidance dan tax evasion. Menurut Darussalam dan Danny Septriadi (2008: 3) Tax Avoidance merupakan suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara, sehingga skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Sedangkan tax evasion merupakan suatu skema transaksi yang ditujukan untuk memperkecil pajak yang terutang dengan melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagaian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
            Praktik transfer pricing yang terjadi pada umumnya sebagai perwujudan untuk
melakukan tax avoidance atau tax evasion. Sebagai contoh nyata yang terjadi di Indonesia, menurut Lukluk Fuadah dalam Jurnal Keuangan dan Bisnis (Vol. 6, No. 2, Oktober 2008) adanya suatu masalah transaksi transfer pricing yang dilakukan oleh PT Asian Agri yang merupakan induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto, orang terkaya di Indonesia pada 2006 versi majalah forbes.
            Sehubungan dengan hal-hal yang telah disampaikan diatas, penulis akan menyajikan suatu tulisan/penelitian kualitatif yang bersifat eksplorasi studi pustaka dengan tema penentuan harga transfer (transfer pricing) atas transaksi internasional (cross-border transaction) dari perspektif Indonesia. Sistematika penulisan meliputi landasan teori, transaksi hubungan istimewa, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle), analisis kesebandingan, penentuan harga transfer (transfer pricing) dan kesimpulan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini disebut dengan Pendekatan Kualitatif karena dianalisis melalui beberapa peraturan- peraturan yang berlaku mengenai Transfer Pricing. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan studi hubungan istimewa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pajak diatur sebagai berikut:
1. Undang-undang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Secara garis besarnya bahwa hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Adanya Penguasaan Melalui Manajemen atau Penggunaan Teknologi
Hubungan istimewa dapat juga terjadi karena penguasaan melaluimanajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada dibawah penguasaan pengusaha yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan pengusaha yang sama.

Adanya Hubungan Darah atau Karena Perkawinan
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah kakak dan adik. Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar. Apabila antara suami istri mempunyai perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan antara suami istri tersebut termasuk dalam pengertian hubungan istimewa menurut Undang-undang ini.tersebut.

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia (P3B)
            Pasal 9 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan mitra  perjanjian, diatur bahwa: Apabila:
(a) suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan turut berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, atau
(b) terdapat orang/badan yang sama yang turut berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan, atau modal suatu perusahaan dari Negara Pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dan dalam tiap kasus di atas, terdapat kondisi-kondisi yang dibuat atau diberlakukan diantara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagang atau hubungan keuangannya yang berbeda dengan kondisi-kondisi yang dibuat olehperusahaan-perusahaan yang mempunyai kedudukan bebas, maka atas laba yang karena kondisi- kondisi tadi, tidak diakui, dapat ditambahkan pada laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak.

PENENTUAN HARGA TRANSFER (TRANSFER PRICING)
Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) yang paling sesuai (The Most Appropiate Method). Metode Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) yang dapat diterapkan adalah :
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai wajib
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada. Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar. Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/ RPM) antara lain adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Setiawan Deddy Arief, 2010, PENENTUAN HARGA TRANSFER ATAS TRANSAKSI INTERNASIONAL DARI PRESPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA, Jurnal Ekonomi
2.      Nurhayati Indah Dewi, 2013, EVALUASI ATAS PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP TRANSAKSI TRANSFER PRICING PADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA, Jurnal Manajemen dan Akuntansi
3.      Ahmadi Wiratni, 2007, PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DALAM KAITANNYA DENGAN TRANSAKSI INTERNASIONAL, Jurnal Hukum
4.      Lingga Ita Salsalina, 2012 , ASPEK PERPAJAKAN DALAM TRANSFER PRICING DAN PROBLEMATIKA PRAKTIK PENGHINDARAN PAJAK, Jurnal Zenit Vo. 1
5.      Santoso Imam, 2004, ADVANCE PRICING AGREEMENT DAN PROBLEMATIKA TRANSFER PRICING DARI PERSEPKTIF PERPAJAKAN INDONESIA , Jurnal Akuntansi dan Keuangan



PENGARUH RASIO KEUANGAN TERHADAP KONDISI FINANCIAL DISTRESS PERUSAHAAN

PENDAHULUAN
            Laporan keuangan menurut SAK No.1 adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan merupakan sarana informasi kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam perusahaan. Laporan keuangan yang lengkap meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan, catatan dan laporan lain serta penjelasan yang merupakan bagian dari laporan keuangan. Untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka dilakukan penelitian mengenai manfaatnya. Salah satu bentuk penelitian yang menggunakan rasio keuangan yaitu penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk tujuan memprediksikan financial distress perusahaan. Laporan keuangan dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan melalui rasio keuangan yang ada dalam laporan tersebut. Rasio keuangan merupakan salah satu bentuk informasi akuntansi yang penting dalam proses penilaian kinerja perusahaan, sehingga dengan rasio keuangan tersebut dapat mengungkapkan kondisi keuangan perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai perusahaan untuk suatu periode tertentu.
            Kesehatan perusahaan akan mencerminkan kemampuan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktiva, keefektifan pengguna aktiva, hasil usaha yang telah di capai, kewajiban yang harus di lunasi dan potensi kebangkrutan yang akan terjadi. Masalah keuangan yang dihadapi suatu perusahaan apabila dibiarkan berlarut-larut dapat mengakibatkan terjadinya kebangkrutan. Beberapa perusahan yang mengalami masalah keuangan mencoba mengatasinya dengan melakukan pinjaman dan penggabungan usaha, atau dengan menutup usahanya.
            Financial distress terjadi sebelum kebangkrutan. Model financial distress perlu untuk dikembangkan, karena dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini diharapkan dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang mengarah pada kebangkrutan. Banyak sekali literatur yang menggambarkan model prediksi kebangkrutan perusahaan, tetapi hanya sedikit penelitian yang berusaha untuk memprediksi financial distress suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan sangat sulit mendefinisikan secara obyektif permulaan adanya financial distress.
Ada dua motif dilakukannya penelitian tentang prediksi financial distress perusahaan, yang pertama adalah untuk menguji hubungan dan pengaruh antar variabel faktor keuangan dan pengukuran kegagalan atau kebangkrutan, sedangkan yang kedua adalah untuk mengembangkan model dalam peramalan atau prediksi kebangkrutan (Brahmana 2004). Penelitian ini dilakukan berkaitan dengan motif yang pertama yaitu menguji pengaruh rasio keuangan terhadap financial distress perusahaan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah perusahaan yang digunakan sebagai obyek penelitan adalah perusahaan Automotive and Allied Products. Alasan peneliti memilih obyek penelitian perusahaan Automotive and Allied Products karena semakin ketatnya persaingan dalam industri otomotif akan mengakibatkan perusahaan mau tidak mau harus berani mengambil langkah yang tepat dalam persaingan tersebut. Masing masing berpacu meluncurkan produk terbaru, layanan pasca jual yang cepat dan terbaik, pemberian hadiah, bonus, bunga kredit yang murah sampai mendirikan klub untuk mengakrapkan antar pengguna mobil sejenis. Tingginya persaingan otomotif di Indonesia disebabkan karena pasar mobil Indonesia merupakan pasar yang potensial.

LIKUIDITAS DAN FINANCIAL DISTRESS
            Likuiditas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendanai operasional perusahaan dan melunasi kewajiban jangka pendek perusahaan (Wild et al 2005). Menurut foster dan wild et al, di jelaskan bahwa untuk mengetahui likuditas perusahaan dapat menggunakan current ratio, quick ratio dan cash ratio. Current ratio mengukur kemampuan perusahaan memenuhi hutang jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya. Quick ratio merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan tidak mempertimbangkan persediaan, karena persediaan biasanya dianggap merupakan aset yang tidak likuid. Hal ini berkaitan dengan panjangnya waktu persediaan tersebut untuk menjadi kas. Rasio kas merupakan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendek perusahaan.

PROFITABILITAS DAN FINANCIAL DISTRESS
            Profitabilitas merupakan hasil akhir bersih berbagai kebijakan dan keputusan, dimana rasio ini di gunakan sebagai alat pengukur atas kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari setiap rupiah penjualan yang dihasilkan. Profitabilitas adalah tingkat keberhasilan atau kegagalan perusahaan selama jangka waktu tertentu (Atmini,2005). Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen berdarkan hasil pengambilan yang dihasilkan dari penjualan dan investasi (Weston dan Copeland 1995). Dalam Rasio return on asset yang tinggi menunjukkan asset yang dimiliki untuk menghasilkan laba dari penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan.
            Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis terhadap rasio ini diperlukan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutang (jangka pendek dan jangka panjang) apabila suatu peruasahaan dilikudasi atau dibubarkan (Sigit 2008)
            Pada saat diuji Likuiditas yang diukur dengan current ratio tidak berpengaruh terhadap financial distress perusahaan, likuiditas yang diukur dengan quick ratio berpengaruh negatif terhadap financial destress perusahaan. Likuiditas yang diukur dengan cash ratio tidak berpengaruh terhadap financial distress perusahaan, profitabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress perusahaan. Financial leverage yang diukur dengan total liabilities to total asset tidak berpengaruh terhadap financial distrss perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Setiawan dody, 2009, PENGARUH RASIO KEUANGAN TERHADAP KONDISI FINANCIAL DISTRES PERUSAHAAN OTOMOTIF, jurnal bisnis dan akuntansi
2.      Soviandre edo, 2014, FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME EKSPOR KOPI DARI INDONESIA KE AMERIKA,  Jurnal Akuntansi Bisnis
3.      Santoso.F hendra, 2010, AKUNTANSI INTERNASIONAL , Jurnal Akuntansi
4.      Spica Luciana, 2006, ANALISIS RASIO CAMEL TERHADAP PREDIKSI KONDISI BERMASALAH PADA LEMBAGA PERBANKAN PERIODE 2000-2002, Jurnal ekonomi akuntansi


Minggu, 14 Juni 2015

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN SUKARELA OLEH PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA

Perusahaan mempunyai kepentingan untuk memberikan pengungkapan secara memadai karena perusahaan saling bersaing antara satu dengan yang lain di pasar modal dalam jenis sekuritas, termin dan imbal hasil yang ditawarkan. Sementara itu terdapat ketidakpastian mengenai kualitas perusahaan dan sekuritasnya, sehingga investor membutuhkan informasi untuk menilai perusahaan dan mengambil keputusan. Perusahaan memenuhi kebutuhan tersebut sebagian melalui pemberian informasi secara sukarela (Foster, 1986 dalam Meek, dkk, 1995). Dalam mengambil keputusan melakukan pengungkapan, perusahaan hendaknya memperhatikan manfaat dan biaya yang ditimbulkan akibat melakukan pengungkapan. Manfaat yang didapat adalah diperolehnya biaya modal yang rendah dan dipahaminya risiko investasi. Sementara biaya pengungkapan sukarela berupa seluruh biaya yang berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap penerbitan laporan sukarela.
            Luas pengungkapan antara perusahaan dalam industri satu dengan industri lainnya berbeda-beda. Perbedaan ini dipicu oleh kandungan risiko masing-masing industri yang berbeda dan  memiliki karakteristik yang berbeda. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengungkapan sukarela dalam konteks internasional telah dilakukan oleh Meek dkk (1995). Meek dkk (1995) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan multinasional di Amerika Serikat, Inggris dan Benua Eropa berdasarkan 3 (tiga) tipe informasi, yaitu informasi strategik, informasi keuangan dan informasi non keuangan. Penelitian dilakukan terhadap 226 buah sampel laporan tahunan perusahaan multinasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa size, region, listing status, dan industri merupakan faktor-faktor yang penting dalam menjelaskan luas pengungkapan sukarela secara keseluruhan.
            Penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang tidak konsisten, sehingga dalam penelitian ini akan dikembangkan faktor-faktor yang diharapkan berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan. Variabel yang meliputi rasio-rasio keuangan dikeluarkan dari faktor-faktor yang diteliti, karena berdasarkan Surat Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-38/PM/1996, rasio-rasio keuangan merupakan bagian dari ikhtisar data keuangan penting yang wajib diungkapkan oleh perusahaan. Variabel-variabel yang akan diteliti antara lain, size perusahaan, proporsi kepemilikan saham oleh publik, basis perusahaan, tipe industri, dan ukuran dewan komisaris. Agency theory yang dikenalkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Agency theory mempelajari hubungan antara dua pihak yaitu prinsipal dan agen, prinsipal sebagai pemilik, shareholders, atasan, atau penjamin agen dan agen sebagai manajer, kepala departemen, bawahan, atau orang yang dijamin oleh prinsipal. Dalam hubungan antara prinsipal dan agen, principal mengajak agen untuk melayani kepentingan principal dan mendelegasikan wewenang kepada agen dalam mengambil keputusan. Fakta yang menarik dalam agency theory adalah informasi tidak terdistribusi secara memadai antara agen dan prinsipal dan atau prinsipal tidak mungkin secara langsung mengamati usaha agen, karena prinsipal tidak selalu berada di perusahaan sehingga informasi yang dimiliki lebih sedikit dibanding agen yang terjun langsung mengelola perusahaan. Hal ini dapat menimbulkan asimetri informasi (ketidakseimbangan informasi) yang dapat memicu terjadinya kegagalan pasar atau ketidakefisienan pasar
(Baiman, 1990).
            Laporan tahunan merupakan salah satu alat penting untuk mengatasi masalah keagenan antara manajemen dan pemilik dan sebagai upaya untuk mengurangi asimetri informasi. Sebagai pihak yang tidak mengikuti kegiatan operasi perusahaan sehari-hari, pemilik menginginkan pengungkapan informasi yang seluas-luasnya, sedangkan manajemen akan selektif dalam melakukan pengungkapan informasi karena pengungkapan informasi mengandung biaya  Manajemen hanya akan mengungkapkan informasi jika manfaat yang diperoleh melebihi biaya pengungkapan
tersebut.
            Berdasarkan adanya perbedaan kepentingan dan manfaat potensial yang ditimbulkan atau diperoleh,menimbulkan banyak pendapat dalam hal sejauh mana luas pengungkapan laporan keuangan seharusnya dilakukan. Menurut SFAC No. 1, terdapat tiga konsep mengenai pengungkapan sehubungan dengan kualitas laporan keuangan yaitu adiquate disclosure, fair disclosure, dan full disclosure. Konsep yang sering digunakan dari ketiga konsep tersebut adalah adequate disclosure, yaitu pengungkapan minimum yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan. Sementara kedua konsep yang lain, fair disclosure sangat menitikberatkan pada faktor etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan dan full disclosure merupakan pengungkapan atas semua informasi yang relevan, tetapi jarang digunakan. Full disclosure
jarang digunakan karena adanya pertimbangan-pertimbangan manajemen antara lain menimbulkan informasi yang berlebihan atau melimpah sehingga tidak bisa dikatakan layak, memicu sering munculnya interpretasi yang salah dari pembaca, dan tersebarnya informasi penting sehingga melemahkan strategi bersaing perusahaan.
            Pada dasarnya, pemodal tidak dapat secara langsung berhubungan dengan pengelola terutama pada perusahaan besar. Dalam keadaan inilah hubungan kelembagaan dewan komisaris diperlukan sebagai suatu badan yang melakukan pengawasan terhadap pihak pengelola agar kepentingan perseroan dapat terjamin. Berdasarkan teori agensi, dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian intern tertinggi yang bertanggungjawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Alasan yang mendasari dewan komisaris dapat mempengaruhi luas
pengungkapan sukarela adalah karena dewan komisaris merupakan pelaksana tertinggi dalam perusahaan.
           
DAFTAR PUSTAKA
1.      Kriswara Endang, 2009, Faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela oleh perusahaan multinasional di Indonesia, Jurnal Akuntansi&Manajemen
2.      Mustholihah Siti, 2009, Peran dan penguatan modal dalam meningkatkan pendapatan usaha anggota kelompok anggota kelompok pembudidaya ikan lele di kecamatan moyudan, kabupaten sleman, Jurnal Akuntansi&Manajemen

3.      Al Fajar Siti, 2009, Penerapan Total Qcualiuty Service Sebagai Upaya Mencapai Loyalitas Customer, Jurnal Akuntansi & Manajemen

Jumat, 12 Juni 2015

HARMONISASI INTERNATIONAL FINANCIAL REPORT STANDAR (IFRS) STUDI KASUS PADA PT.GARUDA AIRLINES INDONESIA

Awal munculnya ide untuk melakukan perdagangan ke luar negeri adalah karena para pedagang merasa pasar dalam negeri tidak lagi menjajikan keuntungan yang tinggi, sedangkan pasar luar negeri terbuka sangatlebar. Hal tersebut memicu terjadinya perdagangan bebas, dimana batas negara dan perbedaaan kebudayaan tidak lagi menjadi hambatan. Kecenderungan meningkatnya globalisasi di bidang ekonomi semakin tampak dengan adanya kesempatan-kesempatan antar beberapa negara dalam region tertentu untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang berorientasi ekonomi seperti Uni Eropa, AFTA,dan NAFTA.
            Selain itu, globalisai di bidang ekonomi juga tampak dengan munculnya fenomena krisis nilai tukar di sebagian negara Asia, termasuk Indonesia yang di mulai pada tahun 1997. Industry yang bergantung kuat pada bahan baku impor sangat berpengaruh dengan kondisi ini. Nilai impor bahan baku dalam mata uang domestic, dalam hal ini rupiah meningkat tajam. Industry yang bergantung kuat pada bahan baku dan sumber daya domestic mengalami hal sebaliknya. Penjualan barang ke luar negeri menjadi sangat menguntungkan jika dinilai dalam mata uang domestic. Penetapan jual baru di pasar domestic dan luar negeri menjadi tidak sesederhana sebelum tejadi krisis (Sadjiarto,1999).
            Adanya transaksi antar negara dan prinsip-prinsi akuntanis yang berbeda antar negara mengakibatkan munculnya kebutuhan akan standar akuntansi berlaku secara internasional. Oleh karena itu muncul organisasi yang bernama IASB atau International Accounting Standar Board yang mengeluarkan International Financial Report Standar (IFRS). IFRS kemudian dijadikan sebagai pedoman penyajian laporan keuangan di berbagai negara. Masalah yang selanjutnya muncul adalah bagaimana penerapan IFRS di masing-masing negara meningkat perbedaaan lingkungan, ekonomi, politik, hukum, dan sosial.
            Lingkungan adalah salah satu isu utama dalam masyarakat dan menjadi bagian yang signifikan dalam pengaruhnya terhadap perekonomian suatu negara. Alasan utama penyajian laporan keuangan yang memenuhi standar adalah untuk kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri di masa depan, baik ditinjau dari segi pengguna internal maupun pengguna eksternal. Pengakuan public akan kelengkapan dan ketransparan laporan keuangan sebuah perseroan terbuka meningkatkan tekanan sector bisnis untuk menyediakan laporan keuangan yang compatible dan sesuai standar (Imanuella,2007).
Konsep yang ternyata lebih popular dibandingkan standarisasi untuk menjembatani berbagai macam standar akuntansi di berbagai negara adalah konsep harmonisasi. Sadjiarto (1999) menyatakan bahwa harmonisasi standar akuntansi di artikan sebagai meminimumkan adanya perbedaan satandar akuntansi di berbagai negara. Harmonisasi juga dapat diartikan sebagai sekelompok negara yang menyepakati suatu standar akuntansi yang mirip, namun mengaharuskan adanya pelaksanaan yang tidak mengikuti standar harus diungkapkan dan direkonsiliasi dengan standar yang disepakati bersama. Beberapa pihak yang diuntungkan dengan adanya harmonisasi adalah Multinational Corporation (MNC), kantor akuntan internasional,organisasi perdagangan, serta IOSCO (International Organization of Securities Commissions).
            Sesuai keputusan pemerintah tahun 2010 akan ada 3 BUMN yang diprivatisasi salah satunya adalah GA. Untuk menuju privatisasi, perusahaan- perusahaan tersebut harus melewati tahapan IPO (Intial Public Offering).  Dengan adanya IPO, maka nantinya saham GA akan dijual di Bursa Efek dan dibuka untuk public. Namun hal tersebut bukan sebuah alasan GA melakukan adopsi IFRS pada laporan keuangannya. Justru dengan adopsi IFRS akan membantu proses pasca IPO, karena setelah GA mengadopsi IFRS pada laporan keuangannya maka GA akan semakin mudah memasuki pasar saham mengingat banyaknya manfaat yang didapat oleh sebuah perusahaan yang telah mengadopsi IFRS pada laporan keuangannya.
            Pada awal tahun 2009, IAI (Ikatan Akuntans Indonesia) mengeluarkan aturan tentang kewajiban perusahaan publik untuk mengadopsi IFRS dengan alasan penyeragaman standar akuntansi agar laporan keuangan perusahaanperusahaan publik di Indonesia dapat dibandingkan dengan perusahaanperusahaan asing. Tujuannya adalah untuk cross border listed atau operasi lintas negara sehingga ketika sebuah perusahaan telah mengadopsi IFRS, diharapkan perusahaan tersebut bisa melakukan dual listing yaitu menjual saham di bursa efek dalam negri dan luar negri serta melakukan aktivitas bisnis global (Satyo, 2005). Hal tersebut sangat bermanfaat bagi perusahaanperusahaan Indonesia agar dapat bersaing di pasar global, mampu menarik investor investor asing, dan mampu menembus bursa efek internasional (Suharto, 2005).
            Alasan lain adopsi IFRS adalah karena globalisasi ekonomi dan tuntutan pasar. Dengan adanya globalisasi ekonomi, otomatis tidak ada batasan negara dan budaya lagi untuk memperluas sebuah bisnis. Begitu juga bisnis yang dijalankan oleh GA. Selain di Indonesia, jasa penerbangan yang dijalankan GA telah dibuka juga di negara lain seperti negara – negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, Australia, Selandia Baru, Amerika, Kanada, bahkan Eropa. Dengan adanya kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa GA merupakan pemain global yang bergerak dalam jasa penerbangan. Karena hal itu adopsi IFRS pada laporan keuangan GA sangat diperlukan. Ketika kita berbicara tentang bisnis global, standar keuangan yang berlaku secara global juga sangat diperlukan untuk menyeragamkan pedoman yang dianut oleh seluruh maskapai penerbangan internasional di seluruh dunia, sehingga laporan keuangan yang disajikan mempunyai satu kesamaan pandangan (Satyo, 2005).

            Globalisasi membawa kemajuan bagi semua sektor bisnis, termasuk bisnis dalam jasa penerbangan. Dengan adanya globalisasi, para maskapai penerbangan semakin mudah untuk memperluas jaringan bisnisnya. Dampak negatifnya adalah apabila manajemen perusahaan tidak pandai mengatur strategi bisnis maka peluang untuk tersingkir dari kancah bisnis global ini semakin besar. Laporan keuangan yang telah mengadopsi IFRS dapat dijadikan alat untuk “menjual” perusahaan karena value added yang dimiliki laporan tersebut. GA sadar betul tentang hal ini, sebagai pemain global yang tidak mau tersingkir dari persaingan, dibuat keputusan untuk mengadopsi IFRS pada laporan keuangan. Jadi hal tersebut bukan hanya sekedar untuk menaikkan prestige semata tapi juga demi keberlangsungan hidup perusahaan
di dunia internasional.

            Semakin banyaknya pemain yang membanjiri pasar internasional membuat GA harus harus pandai-pandai mengatur strategi pemasaran. Hal ini juga dapat ditempuh dengan cara mengadopsi IFRS karena dengan diadopsinya IFRS pada laporan keuangan GA membuat nilai GA naik dimata dunia internasional. Hal tersebut mencitrakan bahwa GA merupakan perusahaan yang professional, mampu menghadapi tantangan global dan dapat beradaptasi dengan lingkungan internasional dengan baik. Dengan demikian tujuan akhir dari pengadopsian IFRS pada GA, legitimasi oleh lingkungan bisnis bahwa GA merupakan maskapai penerbangan yang professional dan memberikan pelayanan terbaik, dapat tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai award yang diterima oleh GA, diantaranya Best Corporate Finance Deal of the Year 2001 oleh Air Finance Journal, Inggris. Penghargaan tersebut diberikan kepada departemen keuangan atas kemampuannya mengelola utang. Kemudian penghargaan selanjutnya adalah penghargaan yang baru saja didapat GA sebagai World’s Most Improved Airline Award dari Skytrax, Inggris atas kemampuan manajemen GA dalam meningkatkan pelayanan dan mengembangkan maskapai ini. Hal tersebut merupakan bukti keberhasilan GA.

            Ketika GA telah mengadopsi IFRS, GA merasa bahwa laporan keuangannya lebih mencerminkan nilai wajar perusahaan. Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan GA mengadopsi IFRS dalam pembuatan laporan keuangan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Dalimante “Dengan mengadopsi IFRS, LK lebih mencerminkan nilai wajar perusahaan.” Nilai wajar laporan keuangan memberikan dampak yang positif bagi perusahaan karena dengan semakin wajarnya nilai laporan keuangan (Petreski, 2006), maka laporan keuangan GA semakin credible dan transparan. Tentu saja hal ini akan menaikkan nilai GA di mata publik. Menurut Almilia (2007) adopsi IFRS memberikan dampak yang positif kepada perusahaan, yaitu informasi keuangan dapat diperbandingkan dengan perusahaan lain di luar negara tersebut. Hal itulah yang dijadikan dasar oleh GA sebagai alasan untuk mengadopsi IFRS, yaitu daya banding laporan keuangan.
           
            Dengan mengadopsi IFRS, diharapkan nantinya laporan keuangan GA memberikan kemudahan bagi pihak asing untuk menginterpretasikan laporan keuangan perusahaan tersebut, sehingga lebih mudah bagi pihak-pihak asing untuk melakukan keputusan bisnis yang menyangkut investasi. Dengan mengikuti standar yang berlaku secara global dapat di katakan laporan keuangan seluruh maskapai di dunia internasional mempunyai keseragaman, sehingga laporan-laporan tersebut mempunyai daya banding yang sama. Hal tersebut berdampak positif ketika para pelaku bisnis akan mengambil keputusan bagi keberlangsungan hidup usahanya. Dampak yang terpenting dari keseragaman standar yang dipakai adalah tidak terdapat signifikan dalam menginterpretasikan laporan keuangan pada industry sejenis.
           
            Menurut Immanuela (2009), harmonisasi telah berjalan cepat dan efektif, terlihat bahwa sejumlah besar perusahaan secara sukarela mengadopsi standard pelaporan keuangan Internasional (IFRS). Hal ini dilakukan untuk menjawab permintaan investor institusional dan pengguna laporan keuangan lainnya. Begitu juga GA, adopsi IFRS yang dijalankan merupakan perbuatan sukarela yang dilakukan atas inisiatif sendiri, bukan paksaan pemerintah atau pihak manapun, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan baik kebutuhan internal maupun eksternal. Kebutuhan internalnya berupa kebutuhan akan standar yang mengatur perlakuan akuntansi untuk jasa penerbangan, sedangkan kebutuhan eksternalnya berupa jawaban atas permintaan investor, leasee, maupun user laporan keuangan itu sendiri. Harmonisasi yang berjalan dalam GA pun terasa lancar karena persiapan perusahaan tersebut dalam mengadopsi IFRS dapat dibilang matang. Dengan pengkombinasian PSAK dan IFRS, GA mampu menyediakan laporan keuangan yang lengkap bagi para penggunanya.

Daftar pustaka
1.      Irawan bambang, 2002, Agribisnis Hortikultura: Peluang dan Tantangan dalam Era Perdagangan Bebas, pusat penelitian dan pengembangan sosial ekonomi pertanian, bogor
2.      Almilia Luciana Spica dan Herdinigtyas Winny,2005, Analisis Rasio camel Terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah pada Lembaga Perbankan Periode 2000-2002, Jurnal Akuntansi & Keuangan
3.      Immanuela Intan, 2010, Adopsi Penuh Dan Harmonisasi Standar Akuntansi Internasional,Jurnal Akuntansi
4.      Widyaningdyah Agnes Utari, 2001, Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earning Management Pada Perusahaan Go Publik Di Indonesia, Jurnal Akuntansi & Keuangan
5.      Setiawan Aziz Budi, 2006, Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity Untuk Pengembangan Di Indonesia, Jurnal Kordinat
6.      Fanny Margaretta & Saputra Sylvia, 2006, Opini Audit Going Concern:Kajian Berdasarkan Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan,Dan Reputasi kantor Akuntan Publik (Studi Pada Emiten Bursa Efek Jakarta), Jurnal SNA

7.      Anjasmoro Mega, 2010, Adopsi International Financial Report Standard:”Kebutuhan Atau Paksaan?” Studi Kasus Pada PT.Garuda Airlines Indonesia, Skripsi Universitas Diponegoro

ADOPSI IFRS DAN RELEVANSI NILAI INFORMASI AKUNTANSI

Pada perusahaan besar, khususnya perusahaan go public, terdapat pemisahan antara pemilik dengan manajemen. Manajemen adalah pihak yang mengelola serta mengendalikan perusahaan. Manajemen dipercaya dan diberi wewenang untuk mengelola sumber daya yang diinvestasikan ke dalam perusahaan oleh pemilik. Manajemen bertugas menjalankan kegiatan bisnis perusahaan. Konsekuensi dari hal ini adalah pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang tersebut secara periodik kepada pemilik. Pertanggungjawaban periodik ini umumnya menggunakan media laporan keuangan. Untuk itu manajemen harus merancang dan mengimplementasikan suatu sistem akuntansi yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan secara periodik yang akurat dan dapat diandalkan. Selain pemilik, masih terdapat pihak lain yang memerlukan informasi yang berasal dari laporan keuangan. Pihak lain tersebut antara lain adalah pemberi pinjaman, calon kreditor atau investor, pemerintah, analis keuangan dan sebagainya.
            Dari uraian di atas terlihat adanya sebuah kepentingan yang berbeda antara manajemen dengan pemakai laporan keuangan. Manajemen berkepentingan untuk melaporkan pengelolaan bisnis perusahaan yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan pemakai laporan keuangan, khususnya pemilik berkepentingan untuk melihat hasil  kinerja manajemen di dalam mengelola perusahaan. Perbedaan ini menimbulkan konflik kepentingan antara manajemen dengan pemakai laporan keuangan. Karena adanya konflik kepentingan antara manajemen dengan pemakai laporan keuangan maka laporan keuangan harus diaudit oleh pihak ketiga yang independen. Selain masalah konflik kepentingan antara manajemen dengan pemilik, terdapat hal lain yang menyebabkan laporan keuangan perlu diaudit. Hal tersebut adalah: (1) informasi dalam laporan keuangan memiliki konsekuensi ekonomis yang substansial dalam pengambilan keputusan, (2) sebuah keahlian sering diperlukan dalam penyusunan dan verifikasi informasi dalam laporan keuangan, (3) pemakai laporan keuangan tidak bisa secara langsung melakukan verifikasi terhadap kualitas informasi dalam laporan keuangan (Taylor 1997).
Pihak yang bisa melakukan audit atas laporan keuangan adalah akuntan publik.
Akuntan publik akan melaksanakan audit menurut ketentuan yang ada pada standar
auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Profesi Akuntan Publik. Standar auditing yang
ada meliputi (1) standar umum, (2) standar pekerjaan lapangan dan (3) standar
pelaporan. Standar umum bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya. Standar pekerjaan lapangan berkaitan dengan kriteria dan ukuran mutu kinerja akuntan publik dalam melakukan pekerjaan lapangan. Standar pelaporan berkaitan dengan kriteria dan ukuran mutu kinerja akuntan publik dalam melakukan pelaporan. (IAI 2001).
Kewajiban untuk menggunakan IFRS bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listed companies) merupakan salah satu perubahan paling signifikan dalam sejarah regulasi akuntansi (Daske dkk., 2008). Telah lebih dari 100 negara mengadopsi IFRS. Regulator berharap bahwa penggunaan IFRS dapat meningkatkan komparabilitas laporan keuangan, meningkatkan transparansi perusahaan dan kualitas pelaporan keuangan sehingga menguntungkan investor.
            Selain masih terjadi perdebatan konseptual, hasil penelitian juga menunjukkan bukti empiris yang bertentangan tentang manfaat IFRS/IAS dalam meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Sebagai contoh, hasil penelitian Bartov dkk. (2005), Liu dan Liu (2007), Barth dkk. (2008), dan Alali dan Foote (2012) menunjukkan informasi akuntansi yang telah disusun berdasar IFRS/IAS lebih berkualitas dibandingkan informasi akuntansi yang disusun berdasar standar akuntansi sebelumnya. Sebaliknya, hasil penelitian Van der Meulen (2007), Hung dan Subramayam (2007), serta Karampinis dan Hevas (2011) menunjukkan bukti empiris yang bertentangan. Mereka menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan dalam kualitas informasi akuntansi setelah adopsi IFRS.
Indonesia telah melakukan adopsi penuh IFRS mulai 1 Januari 2012. Namun penerapan
IFRS telah dimulai secara bertahap dengan penerapan 19 PSAK dan 7 ISAK baru yang telah mengadopsi IAS/IFRS mulai 1 Januari tahun 2010.2 Konvergensi IFRS ini merupakan salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota forum G-20. Seperti di negara-negara lain, masih menjadi perdebatan dan pertanyaan penelitian penting apakah penerapan IFRS di Indonesia dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi.
            Dalam perkembangannya, standar akuntansi yang awalnya single standard telah berubah
menjadi triple standard, yaitu : pertama, standar akuntansi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik yang digunakan untuk perusahaan kecil dan menengah atau perusahaan yang tidak memiliki akuntanbilitas public dan tidak memiliki fungsi fiducia, atau perusahaan yang mempunyai fungsi fiducia tetapi diwajibkan oleg regulator menggunakan standar SAK ETAP contohnya BPR. Kedua, Standar Akuntansi Syariah, yang digunakan oleh entitas yang melakukan transaksi berbasis syariah, Ketiga adalah standar akuntansi berbasis IFRS yang digunakan untuk entitas yang mempunyai fungsi fiducia dan mempunyai pertanggungjawaban public.(Nur Cahyonowati 2011)
                Pengaruh adopsi IFRS terhadap kualitas informasi akuntansi. Pengujian dilakukan dengan membandingkan hanya satu dimensi kualitas informasi akuntansi yaitu relevansi nilai pada periode sebelum dan sesudah adopsi IFRS. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan relevansi nilai informasi akuntansi secara keseluruhan setelah periode adopsi IFRS. Di negara-negara code law (termasuk Indonesia), dengan karakteristik lingkungan institusional seperti perlindungan investor yang lemah, kurangnya penegakan hukum, kepemilikan terkonsentrasi, dan pendanaan yang berorientasi pada perbankan maka adopsi IFRS belum tentu dapat meningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi. Temuan penelitian ini juga mendukung argumentasi Barth dkk. (2008) bahwa pengaruh adopsi IFRS terhadap relevansi nilai informasi akuntansi .
           
Daftar Pustaka
1.      Maulana Arya & Mukhlisin Murniati, 2011, Analisa Dampak konvergensi IFRS Ke Dalam PSAK 13,16,Dan 30 Terhadap Aktivitas Perdagangan Saham Perusahaan yang terdaftar Di Bursa Efek Indonesia, Islamic Finance & Business Review
2.      Cahyati Ari Dewi, 2012, Peluang Manajemen Laba Pasca konvergensi IFRS : Sebuah Tinjaun Teoritis Dan Empiris, Jurnal Akuntaansi & Keuangan
3.      Tjun Lauw Tjun, Marpaung Elyzabet Indrawati & Setiawan Santi, 2012,  Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit, Jurnal Akuntansi
4.      Christiawan Yulius Jogi, 2002, Kompetensi Dan Independensi Akuntan Publik : Refleksi Hasil Penelitian Empiris, Jurnal Akuntansi & Keuangan
5.      Cahyonowati Nur & Ratmono Dwi, 2012, Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai Informasi Akuntansi, Jurnal Akuntansi & Akuntansi

6.      Muchlis Saiful, 2011, Harmonisasi Standar Akuntansi Internasional Dan Dampak Penerapan Dari Adopsi Penuh IFRS Terhadap PSAK, ASSETS volume 1 No. 2

Selasa, 28 April 2015

pelaporan keuangan dan perubahan harga



KONSEKUENSI ADOPSI PENUH IFRS TERHADAP PELAPORAN KEUANGAN DI INDONESIA
Pendahuluan
            Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, telah memporak-porandakan struktur perekonomian negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik, telah menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap perekonomian nasional. Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), salah satunya telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-barang impor dan menyebabkan harga hamper semua barang yang dijual didalam negeri mentingkat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang memiliki komposisi barang impor yang tinggi.
            Secara teoritis, analisis laporan keuangan terdiri dua kata, yaitu analisis dan laporan keuangan. Ini berarti analisis laporan keuangan merupakan suatu proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan utama menentukan estimasi dan prediksi yang paling mungkin mengenai kondisi dan kinerja (performance) perusahaan pada masa mendatang. Analisis laporan keuangan dikatakan mempunyai kegunaan apabila dapat dipakai untuk memprediksi fenomena ekonomi. (Dian Meriewaty 2012). Para pengguna dan pemanfaat laporan keuangan adalah pemegang saham, investor, manajer, karyawan, pemasok dan kreditur, pelanggan, pemerintah dan pengguna lainnya. Antara pengguna laporan keuangan yang satu dengan yang lainnya mempunyai kepentingan yang berbeda. Pemegeng saham akan menilai kinerja manajemen sebagai pihak yang diberi tanggung jawab untuk menjalankan dana pemegang saham. Investor memerlukan informasi keuangan untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasinya. Karyawan berkepentingan terhadap laporan keuangan agar perusahaan selalu berkembang dan menghasilkan laba.(Harianto dan Sudono 1998).
            Standar akuntansi Internasional tidak mudah diterima, menimbulkan banyak konflik, karena di beberapa negara standar akuntansi dibentuk secara politis, sedangkan dinegara lain melalui mekanisme professional pihak swasta (Choi dan Richard 1998). Pro dan kontra terhadap Standar Akuntansi  Internasional, tidak menghentikan langkah Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) untuk mengenalkan dan mendorong pengadopsian International Financial Reporting Standard (IFRS) di berbagai negara didunia. IASB tidak memaksa semua negara di dunia untuk mengadopsi penuh IFRS, karena pada tingkat paling akhir dari tingkat pengadopsian IFRS adalah sama sekali tidak mengadopsi IFRS. Indonesia telah menetapkan untuk mengadopsi penuh IFRS pada awal tahun 2012. Indonesia sebagai negara G20 berarti harus pula mengikuti segala konsekuensi yang harus dihadapi dalam adopsi penuh atas IFRS tersebut. Tulisan ini mendeskripsikan konsekuensi yang harus dihadapi Indonesia dalam adopsi IFRS terhadap pelaporan keuangan, yaitu perubahan dari pengukuran dan pengungkapan menggunakan biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value), kesiapan Indonesia terhadap penggunaan nilai wajar akibat adopsi IFRS dan manfaat penggunaan nilai wajar.
Biaya Historis (Historical Cost) dan Nilai wajar (Fair Value)
            Beberapa kesepakatan telah diputuskan pada pertemuan yang diadakan oleh forum G20 di London, 2 April 2009. Pertemuan tersebut menghasilkan 29 kesepakatan, kesepakatan tersebut mengharuskan negara anggota untuk meningkatkan penggunaan niali wajar (wirahardja,2010). Indonesia sebagai anggota forum G20  harus mengikuti kesepakatan tersebut, sehingga pembuatan Standar International Accounting Standar (IAS). Konvergensi diawali pada tahun 1994 dengan ditunjukkannya beberapa kali revisi terhadap Standar Akuntansi Keuangan yang mengacu pada IAS, yang diikuti beberapa tahap adopsi IFRS tahun 2008 dan tahap implementasi IFRS tahun 2012. Adopsi penuh IFRS berarti ada perubahan pengukuran dan pengakuan terhadap pelaporan keuangan. Dahulu pengukuran dan pengakuan terhadap pelaporan keuangan lebih banyak menggunakan biaya historis, ketika adopsi penuh IFRS maka lebih banyak menggunakan nilai wajar.
            Biaya historis adalah rupiah kesepakatan atau harga pertukaran yang telah tercatat dalam sistem pembukuan (Suwarjono,2008). Konsep biaya historis menggunakan pendekatan biaya perolehan yang menghasilkan nilai buku. Untuk berbagai kepentingan, laporan nilai buku digunakan sebagai acuan untuk menilai perusahaan. Sebagai contoh jika membeli tanah maka bertahun-tahun kemudian, apabila masih menggunakan konsep biaya historis meskipun nilai pasar harganya sudah naik tiga kali lipat, harga tanah tersebut akan tetap tertulis sesuai dengan nilai bukunya, hal ini dianggap beberapa pihak tidak relavan lagi (Suharto, 2009). Kinerja perusahaan diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan perusahaan karena setiap kegiatan tersebut memerlukan sumber daya, maka kinerja perusahaan akan tercermin dari penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan perusahaan. Pentingnya laporan keuanagn sebagai informasi dalam menilai kinerja perusahaan, mensyaratkan laporan keuangan haruslah mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya pada kurun waktu tertentu.
Penggunaan Nilai Wajar (Fair Value) di Indonesia
            Beberapa Standar Akuntansi di Indonesia telah disusun dengan mengecu pada IFRS oleh DSAK. Hal ini berarti telah mengacu pada konsep fair value. Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) juga mengacu pada konsep fair value dalam bebrapa peraturannya. Menurut ketua DSAK-IAI Yusuf Wibisana fair value adalah nilai suatu asset yang dapat dipertukarkan atau suatu kewajibandiselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar dan dalam standar akuntansi keuangan sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55. Nilai wajar harus diukur dengan menggunakan harga di pasar utama untuk asset tertentu atau kewajiban. Jika tidak ada pasar utama, maka nilai yang dipakai adalah harga/nilai yang paling menguntungkan pasar itu. hal ini juga berlaku sebagai standarisasi atas hierarki penilaian untuk kategori level 1,2, dan 3 yang mengklasifikasikan tingkat penilaian  yang digunakan dalam pengukuran asset tertentu atau kewajiban, sebesar nilai wajarnya.
            Tiga hierarkikonsep fair value yaitu: level 1- harga dikutip dipasar aktif untuk aktiva dan kewajiban yang identik. Tingkat 1 input harus digunakan tanpa penyesuain, jika tersedia. Level 2- Input tidak termasuk dalam level 1yang diamati untuk aktiva atau kewajiban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Level 3-Input tidak teramati, termasuk data entitas itu sendiri, yang disesuaikan jika diperlukan untuk mencerminkan asumsi pasar(http://jurnalakuntansikeuangan.com,2011). Penggunaan fair value tidak meliputi asset dan instrument keuangan lainnya, serta kewajiban suatu perusahaan atau entitas bisnis. Pihak pengguna konsep fair value adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di jsa keuangan dan sector rill (Suharto, 2009).

            IFRS 13: Standar Yang Dinamis

IFRS 13 termasuk salah satu standar IFRS yang pergerakannya cukup dinamis. Standar ini disahkan oleh IASB pada bulan May 2011 untuk berlaku 1 Januari 2013. Di banyak negara, standar ini sudah digunakan sejak awal tahun 2013 seperti di Philippines dan Australia. Baru setahun berlaku, saat ini IASB sedang mempertimbangkan melakukan amandemen untuk unit of account instrument keuangan yang merupakan investasi di perusahaan anak, joint venture dan perusahaan asosiasi. Exposure draft dari amandemen ini diharapkan keluar pada triwulan pertama 2014. Salah satu riset yang sedang dilakukan oleh IASB sejak tahun 2013 tentang discount rates juga berpotensi akan berdampak pada IFRS 13 selain juga berdampak ke standar IFRS lainnya. IASB juga sudah memberikan signal bahwa mereka akan melakukan post-implementation review (PIR) atas IFRS 13 ini yang akan mulai pada tahun 2015 nanti. Kegiatan PIR memang bisa dilakukan setelah minimum dua tahun masa efektif suatu standar. Saat ini misalnya IASB sedang melakukan PIR untuk IFRS 3 Business Combination yang efektif sejak 2008. Mengingat IFRS 13 masih sangat baru, PIR yang dilakukan hanya berselang dua tahun dapat memberikan signal bahwa penerapan standar ini banyak mengalami tantangan di lapangan sehingga perlu disempurnakan. (Ersa Tri Wahyuni,2015).
Definisi Nilai Wajar PSAK 68 PSAK 68 adalah mesin hitung bagaimana mengukur suatu aset dan liabilitas bila PSAK lain mensyaratkan atau mengijinkan penggunaan nilai wajar. Misalnya PSAK 13 Properti Investasi mengijinkan penggunaan nilai wajar atau PSAK 16 mengijinkan model revaluasi, maka bagaimana cara mengukur nilai wajar, pengguna membuka PSAK 68 ini. PSAK 68 memuat: 1. Definisi nilai wajar 2. Kerangka pengukuran nilai wajar 3. Pengungkapan mengenai pengukuran nilai wajar Definisi nilai wajar di standar-standar IFRS terkadang memiliki perbedaan, namun dengan terbitnya PSAK 68 ini maka definisi nilai wajar menjadi lebih tajam. Berikut adalah esensi dari IFRS 13 dengan persyaratan baru:
·         Nilai wajar diukur dengan menggunakan harga di pasar utama bagi aktiva atau kewajiban (yaitu pasar dengan volume terbesar dan tingkat aktifitas untuk aktiva atau kewajiban) atau, dalam hal tidak adanya pasar utama maka yang dipakai adalah pasar yang paling menguntungkan bagi aktiva atau kewajiban tersebut.
·         Rincian pedoman untuk mengukur nilai wajar suatu kewajiban, termasuk deskripsi kompensasi yang oleh dibutuhkan oleh pelaku pasar.
 Aset dan kewajiban keuangan yang melawankan posisi dalam
risiko pasar (atau risiko kredit pihak lawan), dapat diukur berdasarkan eksposur risiko bersih entitas.
·         Kelas-kelas aktiva atau kewajiban, untuk tujuan pengungkapan ditentukan berdasarkan karakteristik alam, dan risiko dari aset atau kewajiban dan tingkat dari hirarki nilai wajar (yaitu Level 1, 2 atau 3) di mana pengukuran nilai wajar dikategorikan .
·         Sebuah diskusi narasi diperlukan tentang sensitivitas pengukuran nilai wajar dikategorikan dalam Tingkat 3 dari hirarki nilai wajar untuk perubahan masukan tidak teramati signifikan dan ada keterkaitan antara input yang mungkin memperbesar atau mengurangi efek pada pengukuran. Selain itu, analisis sensitivitas kuantitatif diperlukan untuk instrumen keuangan yang diukur pada nilai wajar.
·         Informasi tentang proses penilaian entitas diperlukan untuk pengukuran nilai wajar dikategorikan dalam Tingkat 3 dari hirarki nilai wajar.

Definisi Nilai Wajar sesuai dengan PSAK 16 Aset Tetap

Jumlah suatu aset dipertukarkan antara pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai dalam suatu transaksi yang wajar 

Definisi Nilai Wajar Sesuai dengan PSAK 68

Harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran  Dalam definisi nilai wajar yang baru, secara tegas disebutkan bahwa yang digunakan adalah harga keluaran (exit price) dan bukan harga transaksi atau harga masukan (entry price) walaupun kebanyakan harga transaksi juga merupakan harga keluaran. Harga transaksi dianggap sebagai harga keluaran kecuali:
  1. Transaksi terjadi di pasar yang berbeda
  2. Transaksi untuk unit akun yang berbeda
  3. Penjual dalam kondisi keterpaksaan
  4. Transaksi antara pihak yang berelasi

Transaksi di Pasar Apa, Oleh Siapa dan yang Bagaimana?

PSAK 68 mementingkan harga yang terjadi antara pelaku pasar, yang perlu diperhatikan adalah pasar yang seperti apa? Pelaku pasar yang seperti apa? Dan bagaimana memilih harga yang terjadi di pasar karena bisa saja ada berbagai macam harga transaksi yang terjadi.Pasar dijelaskan dalam PSAK 68 sebagai pasar utama dan pasar yang paling menguntungkan. Dalam kenyataannya menentukan pasar ini tidak mudah. Produk pertanian misalnya, pasar utama mangga arum manis bisa jadi di Probolinggo sebagai sentra pusat pertanian mangga, namun pasar mangga yang paling menguntungkan bisa saja di Jakarta karena marginnya lebih tinggi. Pengguna harus mempertimbangkan biaya-biaya transportasi juga untuk menggunakan pasar yang paling menguntungkan. Pelaku pasar yang dimaksud adalah market participants dan bukan transaksi antara dua belah pihak. Harga yang terjadi antara dua belah pihak bisa saja lebih murah (mungkin karena pihak berelasi), namun harga yang terjadi antara pelaku pasarlah yang dianggap sebagai nilai wajar walaupun harganya berbeda dengan harga transaksi.
PSAK 68 juga menekankan bila banyak harga di pasar maka yang dipakai adalah harga yang mencerminkan penggunaan tertinggi dan terbaik. Ketua DSAK dalam kegiatan PPL acara HUT IAI di Surabaya desember lalu memberikan contoh mengenai pengukuran nilai tanah dan gedung. Bila kita berniat membeli tanah untuk tujuan membangun gudang, namun di lokasi dimana tanah tersebut biasanya untuk membangun apartemen, maka harga yang dipakai adalah harga bila tanah tersebut dipakai untuk membangun apartemen karena harganya akan lebih mahal.

Bagaimana bila harga pasar tidak tersedia?

Tidak semua aset memiliki harga pasar yang aktif. Bagaimana bila aset tersebut tidak memiliki pasar aktif namun tetap harus diukur sesuai dengan nilai wajar? Apa yang harus dilakukan?Harga pasar aktif (quoted market price) adalah nilai wajar terbaik menurut PSAK 68, yakni memenuhi hirarki tertinggi (level 1). Namun bila pasar aktif tidak tersedia, maka hirarki nilai wajar PSAK 68 mengijinkan turun ke pengukuran level 2 atau bahkan ke level 3 (yang terendah). Level 2 menggunakan harga input berupa harga transaksi aset serupa yang mirip, atau harga kuotasian aset identik di pasar yang tidak aktif, atau harga input lainnya yang masih bisa diobservasi. Sedangkan pengukuran nilai wajar level 3 menggunakan harga input yang tidak lagi bisa diobservasi. Level 3 ini yang biasanya menggunakan teknik-teknik penilaian seperti misalnya dengan discounted cash flow dengan menggunakan arus kas proyeksi dari aset yang diukur selama umur ekonomis aset. Pengukuran dengan level 3 ini tentunya lebih subjektif daripada level 1 dan level 2 karena banyak asumsi dalam pengukurannya. Dengan demikian maka pengungkapan yang disyaratkan juga lebih banyak bila perusahaan menggunakan pengukuran level 3.
Bila perusahaan menggunakan teknik penilaian nilai wajar level 3, nilai input dan asumsi-asumsi yang digunakan harus diungkapkan secara lebih rinci. Perusahaan juga harus menjelaskan langkah-langkah proses penilaian yang dilakukan dengan nilai input tersebut. Analisis sensitivitas juga harus dibuat oleh perusahaan dalam pengungkapan. Diskusi narasi tentang analisis sensitivitas tentang perubahan nilai masukan tak terobservasi (Unobservable inputs) termasuk hubungan antar nilai-nilai masukan tersebut yang dapat mempengaruhi pengukuran.Perusahaan di Indonesia dalam mengukur nilai wajar aset sering memanfaatkan jasa  penilai. Kesiapan profesi penilai menjadi penting untuk mendukung penerapan PSAK ini. DSAK-IAI juga melakukan diskusi dengan PPAJP dan MAPPI selama setahun terakhir agar Standar Penilaian Indonesia juga direvisi mengikuti perubahan PSAK 68 khususnya SPI 201 : Standar Penilaian Pelaporan Keuangan.
Konsep highest and best use model bisa menjadi tantangan tersendiri karena biasanya penilai properti misalnya mengukur properti sesuai dengan niat dan tujuannya, untuk kasus gudang di atas maka penilai menggunakan harga-harga gudang sebagai pembanding. IAI sudah mulai mensosialisasikan IFRS 13 ini sejak tahun 2012 seperti misalnya memberikan training dan seminar tentang nilai wajar, salah satunya dalam kegiatan acara HUT IAI Desember 2012 dan 2013.  Artikel tentang IFRS 13 juga pernah dimuat dalam Majalah Akuntan Indonesia edisi Januari /Februari 2013 dengan judul “Sukarnya Menakar Nilai Wajar”. Namun mengingat banyaknya akuntan dan penilai yang tersebar di seluruh Indonesia dan bukan hanya berpusat di kota besar maka  sosialisasi dan persiapan kepada profesi akuntan dan penilai harus segera diintensifkan selama tahun 2014.(http://etw-accountant.com)

DAFTAR PUSTAKA
1.      Atmadja Adwin S., Mei 1999, Inflasi DiIndonesia sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1 No. 1
2.      Atmadja Adwin S., Mei 2002, Analisi Pergerakan Nilai Tukar rupiah Terhadap Dolar Amerika Setelah Diterapkannya Kebijakan Sistem Nilai tukar Mengambang Bebas Di Indonesia, Jurnal Akuntansi & keuangan Vol.4 No.1
3.      Immanuela Intan, Juli 2012, Konsekuensi Adopsi Penuh IFRS Terhadap Pelaporan Keuangan Di Indonesia, Widya Warta No.2
4.      Anggrayni Delvita Dita Putri, Pandam Rukmi Wulandari, Oktober 2011, Analisis kinerja Perbankan Yang Mengadopsi Standar Pelaporan Internasional (IFRS) Berdasarkan harga Saham, laba Per Saham Dan kapitalisasi Pasar, Procceding PESAT Vol. 4
5.      Chabachib.H.M dan Agung Witjaksono, 2011, Analisis Pengaruh Fundamental makro dan Indeks Harga Global Terhadap IHSG, Karisma Vol 5
6.      Dwijayanthy Febrina dan Prima Naomi,2009, Analisis Pengaruh Inflasi, BI Rate, dan Nilai Tukar Mata Uang Terhadap Profitabilitas Bank Periode 2003-2007, Karisma Vol 3
7.      Meriewaty Dian dan Astuti Yuli Setyani, 2005, Analisis Rasio Keuangan Terhadap Perubahan Kinerja Pada Perusahaan Di Industri Food and Beverages Yang Terdaftar Di BEJ, SNA VIII
8.      http://jurnalakuntansikeuangan.com/2011/06/ifrs-fasb-akhirnya-sepakati-definisi-nilai-wajar-fair-value/
9.      http://etw-accountant.com/indonesia-terapkan-standar-nilai-wajar-1-januari-2015-siapkah-kita/